Mesir yang dijuluki Ummu al-Dunya memiliki cukup banyak tempat bersejarah yang masih terawat hingga sekarang. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Negeri Para Nabi ini. Salah satu pelancong yang pernah singgah di Mesir adalah penjelajah kenaamaan asal Maroko, Ibnu Bathuthah. Dalam bukunya Nuzhah al-Nazhar fi Garaib al-Amshar wa ‘Ajaib al-Asfar atau lebih dikenal dengan al-Rihlah mengungkapkan bahwa dia telah berkunjung ke Mesir sebanyak dua kali.
Ibnu Bathuthah mengawali perjalanan panjangnya dari kota Tangier, Maroko. Pada bulan April 1326 M, karavan haji yang ditumpangi Ibnu Bathutah tiba di kota Alexandria. Pada masa itu, Alexandria dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan terbesar di dunia. Pelabuhan ini terbilang penting karena menghubungkan perdagangan Asia dan Eropa.
Ibnu Bathutah menggambar kota Alexandria sebagai kota yang indah, dalama bukunya al-Rihlah, Ibnu bathutah menggambarkan, “Kota ini ibarat tubuh yang terjaga, ibarat parfum yang digemari. Kota ini memiliki gedung-gedung yang menakjubkan… Puncak segala kekaguman bermuara di sini. Untuk melukiskan kota ini, manusia menggunakan bahasa yang panjang-lebar. Mereka mengungkapkan kekagumannya pada kota ini dengan bahasa yang tidak pernah digunakan orang lain…”
Selama di Alexandria, Ibnu Bathuthah bertemu dengan ulama dan para sufi, di antaranya adalah Syekh Imaduddin al-Kindi, Fakhruddin al-Righi, Wajihuddin al-Sanhaji, dan ulama-ulama lain. Namun yang paling berkesan adalah ketika dia bertemu dengan Syekh Burhanuddin al-A’raj. Syekh al-A’raj melihat bahwa Ibnu Bathuthah gemar melakukan perjalanan dan mengunjungi berbagai negeri, kemudian Syekh Al-A’raj ingin Ibnu Bathuthah menyampaikan salam kepada sahabatnya yang ada di India dan China. Hal ini sontak membuat Ibnu Bathuthah termotivasi untuk mengunjungi negeri-negeri yang lebih jauh lagi, padahal saat itu ia sama sekali belum terpikirkan untuk menjelajahi negeri yang jauh seperti India dan China.
Melalui Dimyath, Ibnu Bathuthah melanjutkan perjalanannya menuju kota Kairo. Sembari menunggu musim haji yang berlangsung delapan bulan lagi, dia memutuskan untuk berpetualang lebih lama di Kairo. Pada masa itu, Kairo sedang berada pada puncak kejayaannya di bawah kekuasaan dinasti Mamluk yang dipimpin oleh al-Malik al-Nashir Muhammad bin Manshur Saifuddin Qalawun.
Dalam al-Rihlah, Ibnu Bathuthah mengungkapkan kekagumannya pada kota ini, “Aku sampai di kota Kairo yang merupakan pusat negeri, negeri Firaun yang memiliki bangunan-bangunan kuat dan enak dipandang. Kota Kairo merupakan pusat kegiatan ekspor-impor, tempat transit bagi pelancong kaya dan miskin. Di kota Kairo, apa saja dapat kamu jumpai, mulai dari pandai-bodoh, gemuk-kurus, mulia-hina, hingga kebaikan-kejahatan.”
Salah satu hal menarik bagi Ibnu Bathuthah selama berada di Kairo adalah komplek makam seluas tujuh kilometer yang berada di bawah bukit Muqattam. Penduduk kota Kairo menyebut daerah ini sebagai Qarafah atau belakangan biasa disebut city of the dead. Makam-makam ini memiliki kedudukan penting untuk bertabaruk, karena di daerah ini terdapat makam para sahabat, tabiin, ulama, dan sufi.
Penduduk Kairo pada masa itu membangun kubah-kubah yang indah di atas pemakaman, bahkan mereka membangun dinding di sampingnya hingga mirip sebuah rumah. Tak hanya itu, sebagian penduduk Kairo juga membangun madrasah di komplek pemakaman tersebut, kemudian senantiasa mengaji al-Qur’an dengan suara merdu siang dan malam. Ibnu Bathuthah menggambarkan bahwa mereka juga membawa istri dan anak-anak ke daerah tersebut setiap malam Jumat untuk menginap.
Ibnu Bathuthah juga menceritakan bahwa di kota Kairo terdapat cukup banyak zawiyah. Zawiyah ini merupakan bangunan rumah bagi kaum sufi yang khusus didirikan untuk berdzikir, shalat, dan membaca al-Qur’an. Zawiyah juga dibangun untuk membantu kalangan fakir miskin yang sebagian besarnya adalah orang asing.Di setiap zawiyah mempunyai seorang syekh yang mengajarkan ilmu tasawuf dan seorang penjaga yang mengurus segala keperluan para fakir miskin yang tinggal di zawiyah.
Selama di Kairo, Ibnu Bathuthah bertemu dengan para ulama yang berasal dari berbagai negara, seperti Syekh Ruknuddin dari Tunisia, Syekh Atsiruddin dari Granada, dan Syekh Qawamuddin dari Iran. Menurut Dr. Husein Mu’nis dalam bukunya Ibnu Bathuthah wa Rihlatuh, para ulama yang ditemui Ibnu Bathuthah tersebut menunjukkan bahwa sejak dahulu Mesir merupakan pusat keilmuan Islam, tidak ada perbedaan kelas antara ulama yang berasal dari Mesir dengan ulama dari negara lain. Hal inilah yang menjadikan Mesir dan Al-Azhar sebagai kiblat karakter keilmuan Islam.
Pada tahun 1348 M, Ibnu Bathuthah mengunjungi Mesir untuk kedua kalinya dalam perjalanan kembalinya dari China. Ketika itu dunia tengah dilanda pandemi Black Death, saat Ibnu Bathuthah tiba di Alexandria, angka kematian di sana sudah mencapai sekitar seribu orang per hari karena pandemi ini. Kemudian Ibnu Bathuthah melanjutkan perjalanannya ke Kairo, dia menceritakan bahwa angka kematian di Kairo telah mencapai 21.000 orang per hari, “Banyak sekali di antara para masyaikh yang wafat karena wabah ini, semoga Allah SWT merahmati mereka semua,” ungkapnya.
Catatan penjelajahan Ibnu Bathuthah yang diabadikan dalam bukunya al-Rihlah telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, serta menjadi salah satu rujukan bagi sejarawan dan peneliti yang ingin mengetahui keadaan dan peristiwa pada masa itu. Sebagai mahasiswa al-Azhar yang tengah menuntut ilmu di Mesir, al-Rihlah bisa menjadi oase untuk meredakan dahaga pengetahuan tentang sejarah Mesir dan karakter penduduknya yang hidup di abad pertengahan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan di website ppmimesir
2 Komentar
Menarik kak, narasinya runut dan apik. Ditunggu kisah2 lainnya tentang Kairo lainnya
BalasHapusterima kasih kak, semoga bisa memberikan tulisan-tulisan menarik lainnya
HapusSilakan, semua masukan dan kritikan sangat berarti bagi penulis